Fenimisme dalam Dinamika Perjuangan Gender di Indonesia
Fenimisme dalam Dinamika Perjuangan Gender di Indonesia
Perkumpulan
masyarakat ilmiah untuk
perempuan pertama kali
hadir dan berdiri
di Middelburg, salah satu kota
di selatan Belanda pada tahun 1785. Setelah abad ke-19, feminisme berkembang
menjadi sebuah gerakan yang banyak mendapat perhatian dari perempuan-perempuan
kulit putih Eropa. Perjuangan
perempuan-perempuan tesebut didasari oleh apa yang mereka sebut sebagai universal
sisterhood. Kata feminisme
pertama kali tercetus oleh Charles Fourier yang
merupakan seorang aktivis sosialis utopis pada tahun 1837. Selanjutnya, gerakan
ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak John Stuart Mill melakukan
publikasi mengenai The Subjection of Women (1869), yang dimana gerakan ini
menandai kehadiran feminisme pertama dan
akan berlanjut pada -gelombang
selanjutmya. Dengan
munculnya gerakan-gerakan perempuan di Eropa dan Amerika, turut berpengaruh
pada situasi dan kondisi politik pergerakan perempuan di Indonesia yang diinisiasi
oleh tokoh-tokoh kelas atas seperti
Kartini, Dewi Sartika,
Cut Nyak Dien
dan masih banyak
lagi yang lain.
Semua gerakan-gerakan
perempuan Indonesia penyebabnya
didominasi oleh kondisi-kondisi yang mengharuskan mereka
untuk berjuang bersama kaum laki-laki dalam menjaga dan mempertahankan tanah
leluhur, meskipun mereka berbeda dari segi sex dan gender.
Dari
bukti sejarah tersebut
dapat kita ketahui
bahwa banyak sekali
peran perempuan yang
juga menguntungkan bagi
kaum laki-laki hari
ini. Lalu bagaimana pembagian
peran ini menambah
beban laki-laki? Selain streotipe tentang perempuan yang tidak
memerlukan pendidikan tinggi, masyarakat
juga menciptakan keadaan yang tidak memudahkan hidup laki-laki. Anggapan bahwa laki-laki
adalah sosok yang
kuat, pemimpin yang
hebat, tidak boleh
cengeng dan sembarangan
menangis, cukup membuat
laki-laki harus selalu
memaksakan kehendak orang-orang
disekitarnya sesuai dengan harapan mereka. Pembagian tugas gender ini membuat
laki-laki selalu mendapat tugas lebih berat dan harus dikerjakan sendiri
seperti yang lumrah terjadi di masyarakat bahwa laki-laki adalah kepala
keluarga dan pencari nafkah untuk
keberlangsungan anggota keluarganya.
Akibatnya tanpa disadari
laki-laki mendapat tekanan dan rentan akan depresi. Padahal
hidup dengan bantuan perempuan bukanlah hal yang memalukan, mereka kini dapat
bekerja sama sebagai partner dengan tidak mendominasikan salah satunya
(Muttaqin, 2014). Sampai
saat ini, feminisme hadir sebagai jalan untuk menghancurkan bias gender yang
selama ini masih sangat
mengakar dalam akal,
pikiran serta tindakan
masyarakat Indonesia. Selain
pembagian peran yang
merugikan kedua gender,
sejauh ini juga
sebagian besar masyarakat
Indonesia masih belum
menyadari bahwa banyak
sekali tindakan bahkan
guyonan yang sekiranya dapat merendahkan atau memojokan
suatu gender tertentu. Seperti berkata tidak pantas terhadap bentuk tubuh
perempuan yang baru-baru ini menjadi guyonan komentator bola dengan
kata-kata melecehkan berbarengan
dengan gerak kamera
yang menyorot sekumpulan
penonton perempuan, serta
kerap terdengar selentingan
yang dilontarkan perempuan
pada tubuh laki-laki,
seperti yang dilakukan
sejumlah penggemar atlet
bulu tangkis Jonathan
Cristie pada kolom
komentar media sosialnya
dengan kata-kata “rahim anget”
karena Jonathan melepas
kaosnya sebagai sebuah
selebrasi kemenangan di
lapangan. Dari kedua contoh
diatas, dapat kita simpulkan bahwa pelecehan bukan hanya dapat terjadi kepada
kaum perempuan saja, melainkan keduanya, namun sebagian besar masyarakat tidak
menyadari bahwa hal yang dilakukannya adalah sebuah pelecehan. Lalu bagaimana bias gender masih saja
mengakar dengan cukup kuat dan masih memerlukan perlawanan untuk
menghancurkannya? Tulisan
ini akan
membahas tentang bagaimana
Perempuan dan laki-laki sudah seharusnya dapat memperjuangkan hak-hak
mereka sebagai manusia, bukan atas dasar jenis kelaminnya.
Kartini dan Suratnya
Diakhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda banyak
terlibat dalam perjuangan melawan penjajah.
Bukan main-main, para
perempuan muda itu
dapat menjelma sebagai
pemimpin pasukan dalam perlawanan
tersebut. seperti contoh, Cut Nyak Dien, Cut Meutia dan Martha Tiahahu yang
ikut berjuang bersama kapitan Pattimura. Pada saat itu belum ada istilah atau
gagasan kesetaraan gender dan belum sama sekali disadari. Para perempuan muda
ini termasuk ke dalam golongan
perempuan kelas atas
atau bangsawan, dan
bisa disebut ningrat karena status sosial
yang melekat pada
diri mereka. Mereka
berjuang atas dasar
kesadaran penuh karena
kondisi sosial yang
terjadi pada saat
itu, bahkan kehilangan
nyawa sekalipun tiak
menjadi masalah baginya, seperti apa yang terjadi pada Martha Tiahahu
yang rela meregang nyawa ditiang gantung. Kartini hadir
sebagai penerus perjuangan
perempuan-perempuan muda sebelum
dirinya, dengan surat-suratnya, membuktikan bahwa
berjuang tidak harus
selalu menggunakan metode angkat senjata untuk melawan
ketidak-adilan. Kehidupan sosial masyarakat jawa pada saat itu masih kental
akan keteraturan dan tata krama. Adat ketimuran yang kuat merupakan aturan masyarakat
yang dianggap sangat
membelenggu ruang gerak
kaum perempuan. “Tangan dan kaki kami masih terbelenggu;
masih terikat pada hukum, adat istiadat dan kebiasaan di Negeri
kami.” Sepenggal kata dari surat kartini yang ia kirimkan kepada
sahabatnya Stella Zehandelaar, seorang feminis sosialis di Belanda. Cita-cita
paling sederhana dari Kartini ialah meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan
yang setara tanpa memihak dan mereformasi sistem perkawinan
yang di dalamnya
mengemukakan penolakan poligami karena
dianggap merendahkan kaum
perempuan. Surat-surat Kartini banyak
yang sengaja dihancurkan, surat-surat
tersebut berisikan percakapan
tertulis dengan Stella yang banyak menginspirasi Kartini mengenai permasalahan
perempuan dan pembebasan.
Secara tidak langsung,
Kartini juga menyampaikan
perihal penentangan terhadap
dominasi kolonial kepada
rakyat dari negeri
terjajah. Pada saat
itu, saat surat-surat Kartini
tertulis, sentiment nasionalisme yang terorganisir belum muncul, juga
tradisi menggunakan media
surat kabar dan
terbitan untuk menyebar
luaskan propaganda juga
belum populer. Pandangan
Kartini terbentuk dari
berbagai literatur bahasa
Belanda yang ia baca dalam masa
pingitannya, serta komunikasi dengan Stella melalui surat-suratnya
merupakan bukti yang
luar biasa bahwa
Kartini, seorang perempuan
yang terisolasi dan
merasa sunyi itu
mampu membangun suatu
gagasan politik yang
progresif hingga akhir
hayatnya. Baik mengenai hak-hak perempuan maupun tentang masyarakat Bumi
Putera yang terjajah (Kristeva, 2015).Sesudah
kematian Kartini, perjuangan
perlawanan yang dilakukan
oleh perempuan terus
berlanjut. Pringgodigdo membagi
perjuangan kaum perempuan
menjadi tiga gelombang;
(1) Gelombang pertama
yang terjadi antara
tahun 1908 sampai
dengan 1920, yang
dimana pada gelombang
pertama ini, perempuan
berjuang untuk mendapatkan
kedudukan sosial. (2) Gelombang kedua pada tahun 1920-1930,
yang dimana kesadaran atas pemenuhan hak-hak
perempuan mulai muncul
dengan ditandai berkurangnya
kawin paksa dan
anak-anak perempuan diperbolehkan
untuk mendapat pendidikan formal bahkan mampu membentuk kongres yang diberi
nama Kongres Perempuan Indonesia dan diselenggarakan di Yogyakarta. (3) Gelombang
ketiga muncul pada
tahun 1930-1942, yang
dimana perempuan Indonesia
berhasil menetapkan Hari
Ibu 22 desember
melalui kongres yang
terselenggara di Bandung
pada tahun 1938 dengan semboyan “Merdeka Melaksanakan Darma”. Sejak saat
itu, perempuan Indonesia berhasil merumuskan
cita-citanya sebagai Ibu
Keluarga, Ibu Masyarakat
dan Ibu Bangsa (Armiyati, 2015). Namun, perjuangan
tidak hanya sampai disitu saja, karena sampai saat ini hak-hak perempuan
dan tuntutan akan
kesetaraan harus terus
diperjuangkan, megingat masih
banyak kalangan masyarakat
yang belum sadar
akan pentingnya kesetaraan
gender. Kartini dengan
surat-suratnya secara tidak langsung mampu menjadi pelopor akan
pentingnya kesetaraan dengan bukti banyaknya pergerakan-pergerakan perempuan
yang terbentuk setelahnya.
Untuk Sekarang; Kesetaraan Atau Kesengsaraan?
Sejak Kartini mulai
menulis dan mengirimkan
surat-suratnya, disitulah Kartini
menjukan bahwa perempuan
layak mendobrak hal
yang tabu, jika
itu cenderung merugikan.
Kartini berhasil menginspirasi
generasi-generasi perempuan setelahnya
melalui surat-surat yang
dikompilasikan kedalam sebuah
buku yang diberi
judul “Sehabis Gelap
Terbitlah Terang”. Perjuangannya telah
berhasil membuat perempuan
terbebas dari belenggu,
meskipun akan terus
timbul belenggu baru
bagi perempuan di
masa modern dengan
segala tantangannya dalam memperjuangkan kesetaraan. Dominasi
budaya maskulin di Indonesia sangat menentukan bagaimana seharusnya perempuan
bersikap dan menempatkan dirinya di tengah masyarakat. Perempuan modern saat
ini sedikit dibutakan oleh kesetaraan
yang sebenarnya, tanpa
mereka sadari, mereka
tetaplah berada di
dalam bayang-bayang kekuasaan
laki-laki. Mereka merasa
bahwa perjuangan kesetaraan
gender di periode
sebelumnya sudah berhasil
membuat kedudukan mereka
sama dengan kaum laki-laki. Namun nyatanya, mereka tetap
saja terjebak dalam peran domestik (Domestic Role) jika mereka sudah berada di
dalam rumah. Contohnya, Mereka akan tetap lekat dengan peran ibu
yang mengharuskan mereka
untuk mengasuh anak,
memasak untuk sang
suami dan bebenah
rumah setelah mereka
pulang bekerja. Bahkan,
terkadang dalam ruang
publik sekalipun, perempuan masih
saja dipandang demikian. Jadi mungkin saja kesetaraan gender masih sangat
utopis di Indonesia. Salah satu yang terparah ialah perempuan Aceh, yang dimana
mereka harus rela dibelenggu oleh
hukum adat maupun
tafsir agama. Perempuan
Aceh dibuat dan
dibentuk menjadi makhluk yang tak bebas serta terpenjara
dimanapun mereka berada, baik di rumah ataupun di luar rumah. Arif Syaifudin di dalam bukunya menuliskan tentang
rencana pemerintah Aceh yang
melarang perempuan untuk
berboncengan dengan posisi
mengangkang pada tahun 2012, dan hal itu sempat menjadi
kontroversi. Perempuan sudah bukan “empu” bagi dirinya sendiri. Keadaan
dipersulit oleh Negara,
ketika belenggu-belenggu bagi
perempuan Aceh tersebut seolah mendapatkan legitimasi penuh
dari Negara (Syaifudin, 2020).Nasib perempuan Aceh
yang jika dapat
diraba dan dilihat
secara jelas, ternyata
sama saja dengan
nasib perempuan di
seluruh Indonesia, terutama
di kota-kota besar.
Sudah bukan rahasia jika di Indonesia sendiri kini
perempuan selalu menjadi objek, baik objek bagi media, kapitalisme dan
industri (industri hiburan
sampai industri produk
kecantikan). Kegagalan kebudayaan
yang ditunjukan oleh
masyarakat Indonesia semakin
terlihat ketika masyarakat
semakin tidak beradab. Masyarakat semakin terjebak dalam kebimbangan dan
kebingungan menentukan standar moralitas
serta sifat kemanusiaannya. Seperti
contoh, banyak siaran
televisi bahkan pentas hiburan di panggung desa-desa kecil yang
menampilkan seorang penari perempuan dengan pakaian yang hampir telanjang.
Disini terlihat bahwa moralitas menjadi sangat absurd dan ditentukan oleh opini
publik, baik opini dari kelas dominan dan opini dari akar rumput. Dominasi
wacana dari opini-opini tersebut yang dapat menentukan seseorang dapat
dikatakan bermoral ataupun tidak. Industri hiburan di Indonesia seolah semakin
gencar dan tak dapat
dibendung lagi tindakannya
menggunakan perempuan sebagai
objek demi mendapatkan rating yang memuaskan bagi para
penikmatnya. Pemerintah Indonesia terlihat
gagap dan lamban
dalam merespon modernisasi.
Ditengah arus politik
yang lumayan runyam,
Negara turut ikut
campur mengatur persoalan
tubuh, terutama tubuh dari para
perempuan. Pada tahun 2012, Soesilo Bambang Yudhoyono berhasil menetapkan Peraturan
Presiden No.25 soal pembentukan Satgas
Anti Pornografi dengan
tujuan untuk menertibkan
moralitas masyarakat agar
tidak berotak porno
dan mengurangi tindakan
pelecehan seksual. Mungkin
bagi mereka itulah
jalan agar permasalahan
moral masyarakat dapat
teratasi. Namun disisi
lain, seolah-olah perempuan
dan tubuhnya yang merupakan penyebab permasalahan moral dapat terjadi.
Nagara memang mampu mengurusi tubuh masyarakatnya, padahal ini bukan hanya
menyoal moralitas namun juga soal hak dan eksploitasi. Kegagalan Negara
bukan hanya sampai
situ saja, berbagai
kasus yang menimpa
perempuan seperti, pemerkosaan, pelecehan
seksual dan tindak
kekerasan dalam rumah
tangga, merupakan dampak
dari Negara yang
kurang begitu menaruh
perhatian pada kasus-kasus
tersebut. seperti kekerasan
dalam rumah tangga
(Domestic Violence) yang
kerap kali dapat
terjadi dan hukum yang belum juga mampu mengakses permasalahan tersebut
karena alasan yang sangat pribadi.
Adapun ketika perempuan
dihadapkan dengan peradilan
akibat kasus hukum
yang menimpanya, perempuan
kerap kali mendapatkan
respon negatif dan
tidak jarang mendapatkan
pelecehan seksual secara
verbal. Ini mengakibatkan
banyaknya kasus pelecehan bahkan pemerkosaan terhadap
perempuan yang tidak terlaporkan karena ketakutan perempuan akan label yang
akan terbentuk dari masyarakat. Itulah
sebabnya kenapa perjuangan
soal kesetaraan harus
selalu dianggap penting.
Dari norma adat, hukum formal
Negara dan kesalahpahaman menafsirkan agama masih menjadi pagar pembatas
yang sangat kuat
untuk perempuan terbebas
dari belenggu-belenggu yang
mengharuskan mereka rela
terkurung tanpa mereka
sadari. Kartini dan
para penerusnya harus
selalu jadi teladan,
bahwa memang hak-hak
kesetaraan wajib untuk
didapatkan bagi semua gender, entah laki-laki, perempuan dan
yang lainnya, tentunya dengan tantangan yang berbeda dan semakin rumit.
Berdasarkan
pembahasan di atas
dapat kita ketahui
bahwa dalam perjalanannya, feminis
berupaya untuk mewujudkan
dunia tanpa opresi,
dominasi, diskriminasi dan
kekerasan. Pada awalnya
feminis memang sebuah
gerakan yang bergerak
untuk keberlangsungan hidup
perempuan dari masa
ke masa yang
harus menghadapi stereotipe
merugikan bagi kaumnya
tersebut, kemunduran hingga
ketertindasan menjadi alasan
mengapa perempuan harus
melawan. Melalui catatan
sejarah telah banyak
tokoh perempuan yang
berjuang untuk kesetaraan gender,
dan masih dilanjutkan hingga hari ini. Namun, pada kenyataannya kesetaraan gender
tidak hanya dibutuhkan
oleh perempuan, karena
budaya patriarki yang
menempatkan laki-laki sebagai
pemegang kekuasaan pun
merasa dirugikan. Laki-laki
dituntut menjadi tumpuan hidup dalam kehidupan berumah tangga, sehingga
mereka hidup untuk memenuhi ekspetasi
masyarakat sebagai makhluk
kuat yang dapat
melakukan segala hal, dan akan rentan mengalami penolakan oleh
masyarakat di saat mereka ‘gagal’ memenuhi eskpetasi-ekspektasi tersebut.
Di Indonesia, kesetaraan gender sendiri
belum sampai pada puncak perjuangan, masyarakat masih saja
berdebat dengan persoalan
tentang peran perempuan
yang seharusnya. Tidak
dapat dipungkiri bahwa kesetaraan gender sulit dicapai karena ada
sebagian perempuan yang memang menolaknya. Kemelut patriarki dan doktrin agama
bercampur menjadi tameng bagi sebagian perempuan ketika diberitahu tentang
perlunya kesetaraan gender dalam kehidupan bermasyarakat. Misi kesetaraan gender
pun memiliki PR besar saat harus berhadapan dengan pemikiran denial yang
menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan selalu berada dalam kekuasaan laki-laki
serta pemahaman bahwa
perempuan dan laki-laki
tidak perlu setara,
karena perempuan telah
dimuliakan oleh agamanya.
Padahal ketidakmampuan seseorang dalam membaca situasi yang tidak adil
berakibat pada tindak kekerasan. Maka dari itu,
gerakan feminis tidak
hanya dilakukan oleh
perempuan, tetapi juga
laki-laki. Seharusnya tidak ada sebutan feminis
perempuan dan feminis laki-laki,
yang ada hanyalah
feminis. Karena mewujudkan kesetaraan
adalah tanggung jawab
semua manusia tanpa
memperhitungkan gender. Laki-laki dan perempuan berhak memperjuangkan hak
dan keinginannya, serta diperhitungkan keberadaannya
sebagai manusia yang
utuh, bukan sebagai
laki-laki ataupun perempuan
itu sendiri. Aliansi Laki-laki Baru
adalah salah satu
organisasi pergerakan yang
mendukung feminisme di Indonesia,
dengan tugas utamanya
menyebarluaskan kesadaran akan
budaya patriarki yang
telah lama membelenggu
dengan cara mengingatkan sesama
laki-laki untuk memiliki sudut pandang kesetaraan dalam dirinya, sehingga tidak
ada keinginan untuk melakukan tindak kekerasan dan dominasi baik terhadap
perempuan ataupun sesama laki-laki.
Writer : Mujib
Komentar
Posting Komentar